UNTUK MENINGKATKAN KAPASITAS KADER DALAM BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT, PKS TUBABA GELAR TATSQIF

DPD Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tulang Bawang Barat membekali kadernya  dalam melaksanakan kerja-kerja dakwah di lingkungan tempat tinggalnya dengan menggelar kegiatan Tatsqif di aula DPD PKS setempat, Sabtu (1/10). Tatsqif dihadiri oleh kader perempuan dari kecamatan Tulang Bawang Tengah, Tumijajar dan Tulang Bawang Udik.          

Dalam sambutannya Ketua Bidang Kaderisasi menyampaikan tausiyah dari ustadz Fir'adi Abu Ja'far,Lc,  yang bertema "Luaskan dunia kita dengan lapang dada." Githo menjelaskan bahwa, setelah Nabi s.a.w tiba di Madinah, yang sebelumnya kota tersebut dikenal dengan “Yatsrib”, ada tiga agenda yang diprogramkan Nabi s.a.w, yaitu membangun masjid, mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar di rumah Abu Thalhah al-Khazraji ra. Dan ketiga, Nabi s.a.w mengikat perjanjian dengan kaum Yahudi Madinah yang populer dengan istilah “Piagam Madinah”.

Terkait dengan agenda kedua menjadi sangat prioritas untuk direalisasaikan, karena tanpa persaudaraan Islam, mustahil sebuah proyek besar; membangun sebuah pemerintahan Islam akan terwujud di alam realiti. Ukhuwah imaniyah, merupakan pilar yang sangat vital untuk membangun sebuah masyarakat madani.
Beberapa bulan berselang, Rasulullah s.a.w mempersaudarakan antara Salman al-Farisi dengan Abu Darda. Meskipun Salman bukan dari bangsa Arab (tapi Persia), namun ia sudah terwarnai dengan budaya Arab lantaran cukup lama berdomisili di Makkah al-Mukarramah. Sedangkan Abu Darda' termasuk sahabat Anshar yang paling akhir memeluk Islam. Persaudaraan Islam ini, bahkan melandasi al-tawaruts 'saling mewarisi' di antara mereka sehingga turun ayat: 75 dari surat Al-Anfal, yang melarang hal tersebut.

Lebih lanjut anggota DPRD Tulang Bawang Barat ini menjelaskan bahwa banyaknya kisah keteladanan dari sosok Abu Darda' dan Salman al-Farisi, yang membuat kita terpesona karenanya. Di antaranya seperti disebutkan oleh syekh Hasan Zakaria Falaifil, berikut petikannya, Salman al-Farisi pernah mengutus Abu Darda' untuk meminang seorang gadis muslimah untuknya. Sesampainya di tempat yang dituju, Abu Darda' menyebutkan beberapa keutamaan Salman kepada Wali si gadis; prestasinya yang gemilang di dalam Islam, suluknya yang mempesona, ia lebih dulu memeluk Islam daripada dirinya, idenya yang brilian untuk membuat parit di perang Khandaq dan lain sebagainya. Lalu Ia mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu; mempersunting sang puteri untuk Salman al-Farisi. Sang Wali dari gadis itu berkata, "Kami tidak akan menikahkan Salman dengan puteri kami. Sebab kami akan menikahkannya denganmu." Saat itu pula keduanya dinikahkan. Setelah bertemu Salman beberapa hari berikutnya Abu Darda' berkata, "Aku riskan dan malu untuk menyampaikan berita ini kepadamu."
"Berita apa itu?," kata Salman.
Lalu Abu Darda' menceritakan peristiwa yang dia alami.
Apakah Salman al-Farisi marah dan kecewa dengan Abu Darda' dan memvonis bahwa ia telah mengkhianati dirinya? Atau Salman mengibaratkan Abu Darda seperti pagar makan tanaman?. Atau ia memutus persaudaraan Islam yang telah diikat oleh Nabi s.a.w terhadap keduanya?. Tidak, itulah jawabannya.
Salman berkata, "Semestinya aku yang harus merasa malu kepadamu. Karena aku menginginkan seorang gadis menjadi pendamping hidupku sementara Allah s.w.t telah menetapkannya untukmu."

Allahu Akbar! Teramat bening, bersih, tulus dan putih hatimu wahai Salman, engkau adalah sahabat Nabi pilihan. Walaupun engkau adalah ajnabi, non Arab. Tapi engkau menjadi cermin bagi umat ini.
Itulah kisah 'salamatus shadr' lapang dada, yang semestinya dimiliki oleh setiap muslim. Lapang dada merupakan tingkat terendah dari ukhuwah imaniyah. Artinya, persaudaraan iman hanya menjadi fatamorgana belaka jika tiada lapang dada dalam hidup kita.

Dunia yang luas terasa sempit, pengap, menyesakkan hati jika dada kita sempit. Jadi kitalah yang dapat menciptakan ketenangan, kedamaian, keluasan, kelapangan hati dan ketenteraman jiwa. Lapang dada, itulah kuncinya.

Terkadang kita merasa terbebani dengan penilaian miring orang lain terhadap kita. Atau ucapan orang lain yang melukai perasaan kita. Atau dengan peristiwa gelap yang menempel di langit harapan dan cita-cita kita.
Awan mendung dendam kita biarkan mengotori cerahnya suasana hati kita. Benih-benih su'uzhan tidak segera kita cabut dari ladang jiwa kita. Kita tidak berlindung dari angin hasut yang menerpa wajah dan pikiran kita. Dan begitu seterusnya.

Akibatnya alam sekitar, kita rasakan gelap gulita. Dada terasa sempit. Dan tiada seulas senyum mengiringi hari-hari kita. Neraka jiwa telah membuyarkan surge harapan kita. Mengakhiri taisiyahnya, Githo menyimpulkan tentang  beberapa mutiara nasihat dari kisah di atas:
  1. Kerja-kerja besar di dalam Islam, termasuk membangun masyarakat madani tanpa didasari dengan ukhuwah imaniyah adalah ibarat panggang jauh dari api. Laksana fatamorgana penghias mimpi, yang jauh dari realiti.
  2. Persaudaraan yang lahir dari tampilan zahir dan dipicu oleh kepentingan sesaat adalah persaudaraan semu. Seperti; ketampanan wajah dan paras yang menarik. Kekayaan maupun jabatan. Keturunan ningrat ataupun karir yang dikejar. Semangat nasionalisme ataupun fanatisme golongan. Maslahat duniawi maupun mazhab, partai dan seterusnya. Persaudaraan yang dibangun di atas pondasi agama dan iman, adalah persaudaraan yang tergaransi langgeng dan abadi. Keindahannya juga dapat dinikmati dalam hidup kita.
  3. Orang tua si gadis yang menikahkan putrinya dengan Abu Darda' adalah manusia biasa. Yang memiliki keinginan dan harapan sebagai manusia biasa. Yang memilih menantu terbaik dalam pandangannya sebagai manusia. Bisa jadi Abu Darda' lebih familiar di telinganya daripada Salman al-Farisi. Bukan karena dia sahabat Anshar dan Salman adalah Ajnabi (non Arab). Lebih karena Abu Darda' dikenal sebagai sahabat yang zuhud, ahli ibadah dan dikenal rajin mendo'akan orang lain. Demikian pula memiliki paras yang lebih menarik dari Salman al-Farisi saudaranya.
  4. Abu Darda' mengajari kita, untuk selalu meminta maaf kepada orang lain yang telah memberi kita suatu amanah atau tugas. Karena bisa jadi menurut kita suatu amanah ataupun tugas yang dibebankan kepada kita, telah kita tunaikan dengan baik. Namun dalam pandangan orang yang memberi amanah atau tugas, masih ada kekurangan dan ketidak sempurnaan dalam pelaksanaannya.
  5. Salman r.a menjadi teladan kita dalam masalah salamatus shadr, lapang dada. Jika kita yang mengalami peristiwa yang menimpa Salman. Mungkin kita sangat terpukul. Hati amat terluka. Goresan perih teramat menganga dalam jiwa. Demikian pula orang tua dan kerabat kita kecewa dan marah. Jalinan persaudaraan pun terputus. Dendam tak terelakkan. Laknat dan kutukan pun muncul. Tapi dengan lapang dada semua itu dapat dihindari. Justru Salman dapat mengembalikan semua persoalan itu kepada takdir Allah s.w.t yang telah ditetapkan-Nya baginya. Pernikahan di dalam Islam adalah mudah, tapi bukan untuk dimudah-mudahkan. Ia ringan, tapi bukan permainan. Karena dalam pernikahan ada mas’uliyah (tanggung jawab) dan tadhiyah (pengorbanan).
  6. Membangun rumah tangga diperlukan dua modal “H”, yaitu ruhiyah dan rupiah. Ada ruhiyah tanpa rupiah, sebuah keluarga bisa goncang. Dan ada rupiah tanpa ruhiyah, maka keluarga kita menjadi rapuh dan payah. Beberapa ayat yang disebutkan di awal tulisan ini, adalah do’a Nabi Musa  a.s ketika mendapat titah dari yang di atas untuk mendakwahi Fir’an dan pengikutnya. Lapang dada adalah pilar kesuksesan dalam dakwah. Tanpa lapang dada, dakwah dan mimpi besar kita menjadi buyar sia-sia. Dan tanpa lapang dada, kita pasti identik dengan kegagalan dan kehancuran. Dalam tataran pribadi, keluarga, masyarakat. Apalagi dalam ruang lingkup da’i yang senantiasa bersentuhan dengan berbagai model dari elemen umat.
"Sudahkah kita berlapang dada hari ini ibu-ibu?. Itulah yang saya dapatkan dari ustadz Fir'adi Abu Ja'far, dan saya merasa wajib menyampaikannya kembali di forum ini."  pungkasnya.

Posting Komentar untuk "UNTUK MENINGKATKAN KAPASITAS KADER DALAM BERKHIDMAT UNTUK RAKYAT, PKS TUBABA GELAR TATSQIF "