PKS, Mazhab Baru dan Metamorfosa yang Belum Tuntas

Mungkin sama sekali tak ada yang menduga Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mampu bertahan hingga kini. Bermacam stigma negatif seperti eksklusif, tak memiliki akar sejarah di Indonesia, beraliran wahabi dan tak lolosnya parliamentary treshold pada pemilu 1999 yang memaksanya berganti nama dari Partai Keadilan (PK) menjadi PKS, membuat banyak pihak skeptis terhadap partai dakwah ini. Tapi hari ini, PKS tetap hidup.

Saya akan mengajak pembaca melihat secara jujur PKS di usianya yang ke-17. Kelebihan dan kekurangan saya sodorkan sebagai refleksi sekaligus proyeksi bagi partai dakwah ini. Kita akan mencermati daya tahan PKS, mazhab baru politik Islam yang ditawarkannya dan persoalan metamorfosa yang belum tuntas.

Daya Tahan PKS

Saat PK dideklarasikan pada 20 April 1998, partai ini seakan hanya menambah daftar panjang berdirinya partai politik paska Reformasi Mei 1998 – meminjam istilah Bachtiar Eflendy dalam menamai gerakan mahasiswa yang marak sepanjang bulan Mei 1998. Saat itu, hampir tiap hari partai politik dideklarasikan akibat terjadinya proses liberalisasi dan relaksasi politik di Indonesia. Jumlahnya mencapai ratusan sebelum akhirnya hanya tersisa 48 yang dapat mengikuti pemilu 1999.

Bermacam aliran partai lahir. Termasuk yang berideologi dan berbasis massa Islam dan salah satunya PK. Tercatat 19 partai Islam yang ikut dalam pemilu 1999 diantaranya PPP, PBB, PK. PPI Masyumni, PSII 1905, Partai Masyumi Baru, PUI, PIB, Partai KAMI, PUMI, Partai SUNI. PAY, PAN, dan PKB. Dari sekian banyak partai Islam tersebut, kini hanya tiga partai yang bertahan yakni PKB, PAN, PPP dan PK (kini PKS).

Kemampuan PKS terus eksis dalam percaturan politik di Indonesia tentu saja mencengangkan. Banyak sebab yang membuat partai ini dianggap remeh saat kemunculannya kali pertama, 17 tahun lalu. Misalmya saja soal akar sejarah Secara geneologi, PKS tak memiliki jejak dalam sejarah politik di Indonesia. Berbeda dengan PKB yang berbasis NU, PAN yang berbasis Muhammadiyah atau PPP yang telah berdiri di awal Orde Baru. Sehingga kemudian banyak yang mengistilahkan PKS merupakan “partai impor” dari Timur Tengah.

Sebab lain terkait dengan ijtihad menggabungkan gerakan dakwah dan politik. Hal ini menimbullan pesismisme dari beberapa kalangan terhadap umur sejarah partai ini. Kesan itu misalnya tertangkap dengan jelas saat kita membaca tulisan Dahlan Iskan di Harian Suara Indonesia pada 21 September 1998. Dahlan yang masih menjadi Direktur Jawa Pos saat itu memberi judul tulisannya Massa Santun Di Dunia yang Bergetah.

Dalam artikelnya itu, Dahlan sangat kagum dengan keberadaan partai ini. Saya nukilkan beberapa kalimat menarik dari Dahlan.

Menyaksikan deklarasi Partai Keadilan di Gelora Pancasila Surabaya Minggu kemarin, bulu kuduk saya merinding. Susana religius yang teduh lebih mendominasi daripada suasana hingar-bingar yang biasa tampak di sebuah forum rapat besar partai.

Wajah-wajah mereka juga tampak sangat bersih, cerah dan kelihatan benar wajah intelektualnya. Lihat, begitu banyak yang mengenakan kaca mata putih dari jenis yang juga menunjukkan kelas sosialnya. Rasanya saya seperti berada di sebuah paroki dengan gambaran para biarawatinya.

Dari jalannya acara terlihat mereka adalah kelompok yang sangat terorganisasi. Misalnya saja bagaimana acara seperti itu sekaligus dimanfaatkan untuk mendapatkan daftar anggota lengkap dengan riwayat hidup mereka. Formulir dibagi dengan sistematis dan dikumpulkan dengan cara yang sistematis pula.

Seorang wartawan ‘nyeletuk’ bahwa mereka inilah kelompok reformis sejati.
Maksudnya barangkali, karena usia mereka umumnya masih muda, maka mereka bukanlah kelompok yang pernah terkena getah pemerintahan Orde Baru. Mereka memang para aktivis masjid kampus, yang selama Orde Baru bertekad tidak mau ke mana-mana, karena melihat di mana-mana sudah penuh dengan getah.

Namun, di akhir tulisan, keterpesonaan Dahlan terhadap partai ini ditutup dengan kalimat yang secara kuat mengesankan keraguannya terhadap kelangsungan hidup PK.

Yang kita tunggu, bagaimana ketika mereka bertekad untuk berkiprah di panggung politik, yang bukan hanya banyak getah lama tapi juga akan muncul getah-getah baru…

Partai ini semakin dianggap sebelah mata karena dalam pemilu 1999 hanya meraih 1.436.565 suara (1,36%) atau setara dengan 6 kursi DPR. Untuk ukuran sebuah partai baru tentu saja sangat lumayan, namun tak bisa menampik kesan banyak pihak bahwa partai ini tak akan bertahan lama. Terlebih karena minimnya perolehan suara yang didapat, partai ini tak lolos parliamantary treshold (ambang batas parlemen) sehingga harus mengubah nama dari PK menjadi PKS.

Pemilu 2004 mengubah cara pandang banyak orang terhadap PKS. Partai ini secara tak terduga melejit perolehan suaranya dengan mendapat 8.325.020 juta (7,34%) atau setara dengan 45 kursi DPR. Besama Partai Demokrat, PKS menjadi bintang terang dalam pemilu 2004. Keberadaan partai ini pun mulai diperhitungkan.

Kekhawatiran terhadap PKS mulai bermunculan sejak saat itu. Usaha-usaha untuk membonsai perkembangan PKS pun mulai dilakukan. Isu-isu negatif secara deras diarahkan ke PKS. Dari partainya Ikhwanul Muslimin, Wahabi hingga akan mendirikan negara Islam di Indonesia. Puncaknya pada Januari 2013, hanya setahun menjelang pemilu ketika Luthfi Hasan Ishaaq yang saat itu menjadi presiden PKS dikriminalisasi oleh KPK. Tapi PKS tetap mampu bertahan dalam pemilu 2014 dengan memperoleh suara lebih dari 8 juta walau diramal akan terjun bebas dan tidak lolos ambang batas parlemen.

“Damage control management partai ini patut diacungi jempol,” kata pengamat poltik AS Hikam di suatu kesempatan. Bisa jadi, itulah salah satu kunci dayatah PKS menhdapai tsunami dahsyat sehingga mampu terus bertahan.

Mazhab Baru politik Islam

Diluar soal kemampuannya bertahan, kita juga bisa memotret PKS di usianya yang ke-17 saat ini dari kacamata lain yakni mazhab politik baru yang coba ditawarkannya. Penjelasannya begini.

Bagi saya, menulis tentang PKS dan mengaitkannya dengan teori demokrasi modern itu paling enak. Soal jabatan rangkap di partai dan pemerintahan? PKS telah memberikan contoh sejak zaman Nurmahmudi Ismail. Tentang memilih pimpinan partai yang tanpa gonjang-ganjing dan politik uang? PKS sudah mencontohkannya. Soal bagaimana melakukan manajemen kerusakan saat kasus LHI? PKS telah mempraktekkannya. Tentang memilih orang nomor satu di partai melalui mekanisme yang bottom up? PKS sudah mengerjakannya lewat Pemira atau pemilihan raya. Lalu soal tdaik adanya trah darah biru dalam memilih elit partai? PKS pun sudah mengerjakannya. Belum lagi hampir tidak adanya caleg dari kalangan artis yang biasanya menjamur dan dilakukan partai lain. Singkat kata: PKS itu paling kompatibel terhadap demokrasi modern.

Hasil penelitian yang dilakukan Indikator politik Indonesia sangat menarik. Lembaga yang dipimpin oleh Burhanuddin Muhtadi itu meneliti perilaku politik uang massa partai pada September-Oktober 2013. Kesimpulannya: kecenderungan menerima politik uang tertinggi massa PKB (47 persen). Terendah, massa pemilih PKS (36 persen),” kata Direktur Eksekutif Indikator, Burhanuddin Muhtadi.

Dibawah PKB, berturut-turut massa partai yang cenderung menerima politik uang adalah PDIP (46%), Nasdem (46%), Gerindra (46%), PPP (43%), Hanura (42%), Demokrat (39%), Golkar (39%), dan PAN (38%).

Menurut Burhanuddin, politik uang terjadi karena Pemilih tidak memiliki kedekatan secara psikologis dengan partai politik atau Party ID. Akibatnya pemilih kemudian melakukan relasi transaksional dengan partai politik. Pemilih menjadikan politik uang dan pendekatan kampanye yang bersifat partikularistik sebagai kompensasi kepada partai politik.
Party ID yang rendah disebabkan karena buruknya kinerja partai politik dalam membangun hubungan dengan massa pemilihnya. Jika partai politik tak berbenah, lanjut Burhan, maka pemilih makin menjauhi partai dan biaya politik makin mahal karena pemilih cenderung memakai pendekatan transaksional dengan partai.

Selama ini deretan panjang keluhan terhadap pelaksanaan demokrasi di Tanah Air sering dilontarkan banyak pihak. Demokrasi kita mahal; demokrasi kita tak berkualitas, demokrasi kita buruk, demokrasi kita buang-buang uang; demokrasi kita di simpang jalan, dan sebagainya. Daftar panjang keluhan tersebut seharusnya terhenti saat kita membaca hasil survey di atas secara jujur.

Ternyata ada sebuah partai yang sejauh ini mampu menjalankan roda organisasi kepartaiannya dengan baik dan di rel yang benar. Ternyata ada partai yang secara sungguh-sungguh melaksanakan fungsi-fungsi kepartaian. Ternyata ada partai yang menjadi mesin ideologi untuk memproduk kader-kader yang resisten terhadap politik uang. Dan suka atau tidak suka, partai itu adalah PKS.

Party ID adalah soal bagaimana sebuah partai memiliki sistem rekrutmen, kaderisasi dan pendidikan politik yang tepat dan optimal. Semakin bagus sistem tersebut dimiliki dan dijalankan maka semakin tinggi tingkat Party ID. Sebaliknya pun demikian. Buruk sistem kaderisasi maka kian rendah tingkat Party ID.

Soal kemampuan PKS mensinergikan Islam dan demokrasi ini mendapat pengakuan dari Burhanuddin. Kata dia:

“Dulu, partai Islam dicitrakan antidemokrasi karena cenderung teokratik. Namun, ketika masuk dalam sistem demokrasi, PKS kemudian menjadi semakin moderat. Partai ini mampu mengawinkan Islam dan demokrasi.”

Jika mau jujur, apa yang dilakukan PKS bukanlah mazhab baru. Praktek demokrasi di atas sesungguhnya adalah nilai-nilai demokrasi yang terdapat dalam literatur teori polik modern yang saat ini sangat langka dipraktekkan. Namun tak ada salahnya memberikan idiom mazhab baru karena justru praktek politik modern lahir dari partai Islam yang dianggap garis keras.

Metamorfosa yang Belum Tuntas

Ada dua pekerjaan rumah terbesar saat sebuah gerakan dakwah bermetafmorfosa menjadi partai politik. Ke luar, ia harus meyakinkan publik tentang keterbukaan atau inklusifitas partai di tengah masyarakat yang majemuk. Ke dalam, ia harus meyakinkan kader soal senafasnya antara dakwah dan politik terutama dalam pilhan-pilihan strategi taktik di lapangan.

Saya akan bahas masalah eksternal lebih dulu. Pada 2008, PKS membuat kejutan dalam penyelenggaraan Mukernasnya di Bali. Kala itu, mereka menegaskan dirinya sebagai partai terbuka. Lalu ditampilkan logo hitam kuning mereka bersinar dari balik pura.

Tak cukup dengan itu. Pada Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PKS di Medan, 26-30 Maret 2012, partai ini mengusung tema “Bekerja dalam Kebhinekaan untuk Kejayaan Bangsa.” Tema kebhinekaan ini seakan ingin menegaskan keterbukaan PKS kepada masyarakat sekaligus kesadaran untuk menyelsaikan pekerjaan rumah mereka dengan cepat.

Saat sebuah gerakan ideologis dengan warna dakwah yang kuat menjelma menjadi sebuah partai politik, maka lahirnya kecurigaan terhadap adanya agenda tersembunyi tak bisa dihindarkan. Dan kalangan Islamphobia kemudian menghembusan isu negatif kepada PKS. Misalnya isu Indonesia akan dijadikan sebagai negara Islam saat kelak PKS memimpin.

Kecurigaan di atas tidak serta merta menghilang dengan ikhtiar menjadikan PKS sebagai partai terbuka. Juga tak akan langsung sirna saat PKS menggelar acara wayangan, menghelat lomba menulis kebangsaan, ber harlem shake, senam nusantara dan sejenisnya. Butuh waktu cukup panjang untuk mengubah imaji publik soal “fundamentalisme” PKS ini.

Apalagi di tingkat akar rumput, isu kemajemukan belum mampu dicerna dengan baik. Masih banyak kader PKS yang terkesan menutup diri. Misalnya menjaga jarak dengan non muslim atau tak mau ikut acara tahlilan dan yasinan. Kondisi ini membuat masyarakat menangkap kesan bahwa PKS tetap tak berubah. Singkatnya, bagi kalangan luar, PKS itu hijau yang kemerah-merahan. Dan bagi beberapa kader, PKS itu merah yang kehijau-hijauan.

Sekarang kita menyoal secara singkat pekerjaan rumah yang bersifat ke dalam atau internal. Meyakinkan kader bahwa nilai-nilai dakwah itu sejalan dengan politik bukanlah perkara mudah. Menjadi partai politik adalah soal bagaimana meraih suara sebanyak-banyaknya dalam pemilu. Dan di lapangan, persoalan bagaimana meraih simpati publik di alam demokrasi kerap “berbenturan” dengan nilai-nilai dakwah.

Di negeri ini, aroma politik uang sangat terasa. Penelitian Indikator politik Indonesia yang saya paparkan di atas membuktikannya. Medan tempur semacam inilah yang dihadapi oleh PKS sebagai partai dakwah. Ada banyak tanya saat kita mengurai masalah ini.

Bolehkah caleg PKS memberikan uang kepada masyarakat agar memilihnya? Bolehkah menyuap rakyat dengan sembako atau lembaran rupiah? Bolehkah meminta “mahar” kepada calon pemimpin daerah yang akan diusungnya? Dan lain sebagainya. Karena itu, tak heran jika fenomena ini ditangkap oleh Burhanuddin Muhtadi yang kemudian menuliskannya dalam buku berjudulPKS: Dilema Suara dan Syariah.

Adanya deklarator PK yang tak lagi dalam satu barisan kemudian membuat gerakan sendiri menjadi satu bukti tak terbantahkan. Belum lagi kader-kader yang mutung hingga ada yang menyempal. Tak perlu kita menjadi orang dalam untuk mengetahui masalah ini karena dengan menjadi orang luar pun dengan mudahnya kita bisa melihat fenomena tersebut. Kita pun dengan mudah akan mendengar keluhan tentang PKS yang tidak seperti dulu lagi.

Inilah yang saya namakan metamorfosa yang belum tuntas. Seiring waktu, saat usia kian bertambah, tuntasnya metamorfosa PKS adalah sebuah keniscayaan jika agenda-agenda yang selama ini dijalankan terus dilakukan secara konsisten. Publik luar menjadi yakin dengan kebhinekaan PKS dan kader tak lagi ragu dengan pilihan-pilihan strategi taktik yang sesuai syariah atau tidak.

Ketika itu berhasil dituntaskan, maka PKS tak cuma memberikan kita pelajaran tentang bagaimana membangun daya tahan dan menawarkan mazhab baru politik Islam. Tapi akan memberikan bangsa ini alternatif pilihan pemimpin yang layak mengelola negeri tercinta. Insya Allah waktunya akan segera tiba.
Selamat Ulang Tahun PKS…

Erwyn Kurniawan
Pemimpin Redaksi kabarumat.com

Posting Komentar untuk "PKS, Mazhab Baru dan Metamorfosa yang Belum Tuntas "